POLIGAMI DALAM TINJAUAN TEORI DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP CLD-KHI

POLIGAMI DALAM TINJAUAN TEORI DOUBLE MOVEMENT
FAZLUR RAHMAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP CLD-KHI
Oleh :
M. Afif Yuniarto
N. Muh Fauhan Assagaf

Abstrak
Kontroversi poligami mengenai boleh dan tidaknya menjadi pembahasan yang tidak ada habisnya hingga saat ini. Perbedaan tersebut mengerucut pada perbedaan penafsiran ayat poligami yang terdapat pada surat An-nisaa ayat 3. Tulisan ini nantinya akan berusaha memaparkan perbedaan pendapat mengenai poligami dengan mengedepankan teori double movement Fazlur Rahman sebagai acuan untuk dibandingkan dengan pendapat ulama’ konvensional yang dalam hal ini adalah ulama’ madzhab serta keterkaitan teori tersebut dengan CLD-KHI yang digagas oleh seorang tokoh pemerhati kesetaraan gender, Siti Musdah Mulia.
Teori double movement yang mengatakan bahwa perlu adanya pemahaman terhadap legal formal dan ideal moral terhadap suatu ayat untuk mendapatkan maksud sesungguhnya suatu ayat ini sangat memperhatikan kontekstualisasi ayat sesuai dengan keadaan yang dihadapi sekarang. Dan kelihatannya hal ini disetujui oleh Siti Musdah Mulia yang juga mengedepankan kontekstualisasi ayat dengan berlandaskan pada prinsip kesetaraan gender.
Dengan adanya teori tersebut, Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa maksud sesungguhnya ayat poligami ini adalah monogami, karena menurutnya, pada saat ini ayat tersebut sudah sampai pada tahapan monogami, di mana sebelumnya ayat tersebut pada zaman nabi membatasi perkawinan yang tak terbatas dengan perkawinan empat orang wanita dan sekarang setelah adanya pembatasan empat orang wanita sampailah pada ayat yang memerintahkan monogami. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa teori double
movementnya lebih mengedepankan pada aspek historitas dan tahapan-tahapan dalam pensyariatan.  

Kata Kunci : Poligami, Double Movement, Fazlur Rahman, CLD-KHI





PENDAHULUAN
Pada dasarnya segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal ini merupakan mutlak adanya sebab sudah menjadi sunnatullah. Termasuk dalam diri manusia juga. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Ada laki-laki dan ada perempuan. Dalam istilah Quraish Shihab dikatakan bahwasannya berpasangan adalah fithrah manusia. Dan supaya manusia bisa mencapai fitrah yang benar sesuai syariat. Maka diperlukan jalan yang tepat untuk mencapainya. Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan perkawinan. Sebagaimana yang diatur di dalam nash.
Perkawinan diadakan supaya antara laki-laki dan perempuan ini bisa membentuk keluarga yang tenang, tentram, damai dan saling mengasihi. Sehingga bisa mencapai prinsip utama dalam perkawinan.
Dalam aspek kehidupan sosial, manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas dalam satu hal. Manusia selalu ingin mencoba hal baru dan uniknya hal ini merupakan watak yang selalu ada pada diri manusia dalam segala hal. Tidak terkecuali dalam urusan perkawinan. Ketika prinsip dalam perkawinan yang disebutkan di atas belum atau tidak terpenuhi, maka manusia cenderung ingin melakukan sesuatu yang baru supaya tujuan ini bisa terpenuhi. Dalam hal cinta atau rasa senang terhadap wanita, tentunya sebagai laki-laki normal pastinya tidak akan pernah habisnya, meskipun si laki-laki tersebut sudah bersatus sebagai suami. Dan hal ini tidak jarang menyebabkan munculnya keinginan seorang laki-laki untuk mempunyai istri baru tanpa meninggalkan istri yang lama atau lazim disebut oleh masyarakat dengan istilah ‘poligami’.
Term poligami sebenarnya masih sangat umum dan berlaku baik bagi laki-laki maupun wanita yang mengawini beberapa orang dari lawan jenisnya sebagaimana yang disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun di masyarakat, istilah tersebut banyak berlaku bagi laki-laki yang mengawini beberapa wanita. Sedangkan istilah untuh wanita biasa dikenal dengan istilah poliandri. Padahal istilah yang tepat sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia bagi laki-laki yang mengawini beberapa orang wanita adalah poligini. Jadi, pada nantinya dalam pembahasan jurnal ini, istilah poligami yang banyak disebut itu merujuk pada poligami dalam artian poligini, untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami istilah yang sudah masyhur di masyarakat.
Terkait permasalahan poligami ini, masih banyak perdebatan dari berbagai kalangan baik dari kalangan agamawan, akademisi, politisi ataupun dari kalangan yang lain mengenai boleh tidaknya poligami ini, terutama poligami dalam Islam. Sebagian kelompok ada yang mengatakan boleh melakukan poligami dengan dasar hukum Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 3. Sedangkan kelompok lain melarang poligami dengan dasar surat An Nisa’ ayat 3 yang kemudian ayat tersebut ditafsiri lagi oleh ayat 129 dalam surat yang sama. Jika ditarik dari dua pendapat yang berlawanan seratus delapan puluh derajat itu, maka bisa disimpulkan bahwa perbedaan tersebut terkait perbedaan penafsiran mengenai ayat-ayat yang berbicara poligami sebagaimana yang disebut di atas. Kelompok yang setuju poligami ini diwakili oleh ulama-ulama’ klasik beserta pengikutnya termasuk juga para imam madzhab. Dan kelompok yang  melarang poligami ini dimotori para ulama-ulama kontemporer dengan penafsiran terbaru mereka terhadap nash. Termasuk juga ulama’ kontemporer  yang cukup kontroversial asal Pakistan, Fazlur Rahman dengan teori gerak gandanya atau dikenal dengan teori double movement.
Di Indonesia sendiri, gagasan terhadap pelarangan poligami ini sudah mulai dibahas dalam beberapa dekade terakhir ini. Terutama ketika munculnya draft terbaru yang akan merevisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau dikenal dengan CLD-KHI (Counter Legal Drafting-Kompilasi Hukum Islam) beberapa tahun yang lalu, di mana salah satu isinya mengatakan bahwa poligami itu tidak diperbolehkan. Kelihatannya gagasan ini senada dengan pembaharuan yang digagas oleh Fazlur Rahman. Dan perlu kiranya membahas gagasan yang cukup kontroversial di mata kita ini, maka dari itu dalam jurnal ini akan dibahas masalah poligami ditinjau dari teori double movement Fazlur Rahman dan relevansinya dengan CLD-KHI yang akan dibandingkan dengan pendapat para Imam Madzhab yang mewakili ulama-ulama’ klasik.   


BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara sebelum terpecahnya India, sekarang merupakan bagian dari Pakistan. Dia berasal dari keluarga religius, ayahnya Maulana Shihabuddin adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband. Di Doeband ayahnya belajar kepada beberapa tokoh yang terkemuka, diantaranya Maulana Mahmud Hasan (wafat 1920) atau yang lebih dikenal dengan Syaikh Al-Hind dan seorang fakih terkenal Maulana Rasyid Ahmad Gangohi (wafat 1905).[1] Keluarga Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang lebih bercorak rasional dibandingkan dengan mazhab yang lainnya.
Seperti kebanyakan Muslim lainnya Fazlur Rahman belajar ilmu-ilmu keislaman secara formal di madrasah. Setelah menyelesaikan pendidikannya di madrasah, dia melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada tahun 1942 Fazlur Rahman menyelesaikan pendidikannya di Universitas Punjab dengan meraih gelar M. A dalam sastra Arab. Walaupun Fazlur Rahman dibesarkan dalam lingkungan Islam tradisional, dia memiliki sikap kritis yang membuat dirinya menjadi seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan orang. Sikap kritisnya tersebut terlihat ketika keputusannya untuk melanjutkan studi ke Barat, Oxford University, Inggris. Keputusannya tersebut merupakan awal sikap kontroversial Fazlur Rahman, karena para ulama-ulama Pakistan memandang ganjil atau negatif apabila jika seseorang belajar Islam di Barat, sekalipun tujuannya untuk kebaikan ataupun kemajuan umat Islam. Fazlur Rahman bukanlah orang yang pertama kali mendapat kecaman karena sikap dan pemikirannya yang kritis, Sayyid khmad Khan, jauh sebelum Fazlur Rahman, pernah menerima kecaman karena sikapnya yang mendukung politik Inggris di India dan juga karena pemikirannya yang rasional dia dituduh oleh para ulama sebagai orang yang kafir.
Keputusan Fazlur Rahman untuk melanjutkan studinya ke Barat, Oxford University, bukan tanpa alasan yang kuat. Hal ini disebabkan karena kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan iklim intelektual yang solid, sebagaimana ungkapan Fazlur Rahman berikut ini:“the basic question is that of general intellectual climate prevaling in society: Pakistan society has not been able to evolve a solid, substansial intellectual climate”. Dan juga secara kelembagaan Fazlur Rahman tidak menemukan pendidikan Islam tingkat tinggi di Pakistan dengan kualitas guru-guru besar dengan tradisi riset yang memadai.
Fazlur Rahman pernah ditanya oleh seorang pendeta Hindu, Sir Radhakhrisnan, di Inggris: “mengapa anda tidak ke Mesir saja, tetapi malah belajar ke Oxford?” Fazlur Rahman menjawab: “studi-studi keislaman di Mesir sama tidak kritisnya dengan India (Pakistan)”. Hal ini sesuai dengan kritikan Fazlur Rahman terhadap Al-Azhar, satu-satunya mercusuar pendidikan tinggi Islam, diungkapkannya sebagai berikut: “Al-Azhar, by contrast, the nucleus of islamic learning, and particularly the theological college, is relatively unchanged, dispite massive changes at its outskrits in the rescently established of agriculture, medicine and enginering. Since islamic law was never abrogated in Agypt as it was Turky, Al-Azhar, in its college of law, may be able to bring about some real sinthesis in this all important field... But one sometime wonders and indeed fears if an institution like Al-Azhar, even it is does want to move, can really advance at a meaningfull speed or wether it is not like glacier...
Pada tahun 1946, satu tahun sebelum kemerdekaan Pakistan, Fazlur Rahman berangkat ke Oxford University, Inggris, untuk melanjutkan studinya. Pada tahun 1950 Fazlur Rahman menyelesaikan studi doktoralnya di Oxford University dengan mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina. Fazlur Rahman juga merampungkan penerjemahan karya Ibnu Sina, Kitab An-Najat untuk diterbitkan di Oxford University Press dengan judul “Avesina Psychology”. Hal ini menambah reputasi Fazlur Rahman , dikalangan sarjana ketimuran yang menguasai Ibnu Sina.[2]
 Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman mengajar bahasa Persia dan filsafat Islam di Durham University dari tahun 1950-1958. Dia meninggalkan meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada Kajian Islam di Institute of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal selama tiga tahun.[3]
Di awal dekade 1960-an Fazlur Rahman kembali ke negeri asalnya, Pakistan, dan menjabat selama beberapa waktu menjadi salah satu staf senior pada Institute of Islamic Research. Pada bulan Agustus 1962 ia ditunjuk sebagai direktur lembaga riset tersebut. Selain itu, dia juga menjadi anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan (1964). Lembaga Riset Islam, yang dikelolanya dibentuk dengan tugas untuk menafsirkan Islam dalam terma-terma(istilah-istilah) rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat modern yang progresif. Sementara Dewan Penasehat Ideologi Islam dibentuk pada tahun 1962, memiliki tugas antara lain, meninjau seluruh hukum, baik yang telah ada ataupun yang akan dibuat, dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum tersebut dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Pemerintah Pusat dan Provinsi tentang bagaimana seharusnya kaum Musimin Pakistan menjadi Muslimin yang lebih baik. Kedua lembaga ini memiliki hubungan yang sangat erat karena dewan penasihat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran tentang suatu rancangan Undang-Undang.[4] Semua ini dilakukan Fazlur Rahman pada masa jendral Ayyub Khan yang bermaksud membangun kembali semangat nasional dengan cara memperkenalkan perubahan politik dan hukum.
Partai-partai politik dan kelompok-kelompok agama yang bertentangan dengan pemerintahan Ayyub Khan mengetahui satu cara untuk menggagalkan orientasi reformis pemerintah adalah dengan cara menyerang penggagas ide-ide tersebut, yaitu, Fazlur Rahman, dengan cara menghujat dan mengecam beberapa isu-isu agama dan fikih Fazlur Rahman seperti, status bunga bank, zakat, hukum kekeluargaan, hakikat wahyu, dan lain-lain. Karena pergolakkan ini mempengaruhi kesehatannya dan peran kepemimpinannya di Lembaga Riset Islam dan di Dewan Penasehat Ideologi Islam, maka Fazlur Rahman berhenti dari kedua lembaga tersebut. Setelah itu Fazlur Rahman menjadi professor tamu di University of California, Los Angeles pada tahun 1969, ia dikukuhkan sebagai guru besar pemikiran Islam di University of Chicago di musim gugur 1969. Pada tahun 1986 dia dianugerahi Harold H. Swift Distinguished Service Professor di Chicago, penghargaan ini disandangnya sampai wafat.[5] Fazlur Rahman juga menghasilkan karya-karya sepanjang karir intelektualnya, yaitu lima buah buku dan tidak kurang dari lima puluh jurnal yang dimuat di beberapa jurnal Internasional. Buku-buku Fazlur Rahman, yaitu:
1.      Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy, merupakan karya Fazlur Rahman yang diselesaikan waktu masih mengajar di Universitas Durham, Inggris. Dan diterbitkan ketika dia mengajar di Universitas Mc. Gill, Canada, 1958. Penulisan karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa sarjana Muslim modern kurang kurang berminat da perhatian pada masalah kenabian dan doktrin.
2.      Islamic Methodology in History, diterbitkan oleh Central Islamic Research Institution, 1965. Buku ini bertujuan untuk memperlihatkan evolusi historis keempat prinsip pokok metodologi pemikiran Islam, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, dan Ijma’, dan untuk memperlihatkan peranan aktual dari prinsip-prinsip tersebut dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam.
3.      Islam, pertama kali diterbitkan The Anchor Book, New York 1968. Kemudian diterbitkan ulang oleh The Chicago University Press, 1979. Buku ini menyuguhkan kepada pembaca perkembangan Islam secara umum selama kurang lebih empat belas abad.
4.      Islam and Modernity: Transform of an Intellectual Tradition, diterbitkan oleh The University of Chicago Press, 1982. Buku ini menjelaskan rumusan aspek-aspek pemikiran metodologi pembaharuan sang penulis.
5.      Mayor Themes of The Qur’an, diterbitkan oleh Bibliothica Islamica, Minneapolis, Chicago, 1980. Buku ini pada dasarnya merupakan kitab Tafsir Al-Qur’an.[6] 
PENGERTIAN DAN PENDAPAT TENTANG POLIGAMI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami diartikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Ini artinya poligami itu menyangkut perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa perempuan (poligini) dan perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki (poliandri). Namun seiring berjalannya waktu, kata poligami sering merujuk pada perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa perempuan dalam waktu bersamaan. Dan untuk memudahkan dalam pemahaman, maka setiap kata poligami yang terdapat dalam tulisan ini, merujuk pada poligami dalam artian poligini yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan beberapa perempuan dalam waktu bersamaan, mengingat kata ini sudah populer di telinga masyarakat.
Ø  Poligami menurut Imam Madzhab
Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu, karena dalam agama Islam seseorang laki-laki dibolehkan mengawini lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri. Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.
Mewakili pendapat empat Imam Madzhab tersebut, penulis mengambil pendapat Imam Syafi’i mengenai poligami. Menurut beliau, seorang laki-laki diperbolehkan beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi hanya empat orang saja. Tujuannya untuk menjaga terjadinya perzinaan. Apabila seseorang hanya diberi hak menikahi seorang istri saja, sedangkan keadaan jasmaninya sedemikian rupa, dan istrinya tidak dapat melayani suaminya sepenuhnya karena lemah dan sebagainya, suami diberikan kesempatan untuk beristri lebih dari seorang. Hal ini sesuai dengan anjuran Allah yang menyatakan bahwa menikahi wanita itu boleh dua atau tiga atau empat.[7] Sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisaa ayat 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Akan tetapi, meskipun dibuka kesempatan untuk beristri lebih dari seorang, seorang suami harus memenuhi syaratnya yang amat berat, yaitu adil, baik dalam masalah materi maupun immateri. Lantaran sikap adil tersebut sulit dicapai oleh manusia pada umumnya, Allah menekankan bahwa seorang suami hendaknya beristri satu saja.[8]

Ø  Poligami menurut Teori Double Movement Fazlur Rahman
Fazlur Rahman mengawali pandangannya terhadap Al Qur’an yang ia maknai sebagai firman Allah yang pada dasarnya adalah satu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia, dan bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa dan haji. Menurutnya, dari awal hingga akhir, Al Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karenanya, kepentingan sentral Al Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.[9] Fazlur Rahman juga menyampaikan akan historisitas Al Qur’an, dengan mengatakan The Quran is the divine response, through the Prophet's mind, to the moral-social situation of the Prophet's Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.[10] (Al Qur’an adalah respon ilahi atas masa Al Qur’an, melalui pemikiran nabi, terhadap situasi moral dan sosial nabi Arab, khususnya pemasalahan komersial masyarakat Mekkah pada saat itu).
Hal yang senada juga diungkapkan Fazlur Rahman mengenai sunnah nabi SAW. Ia beranggapan bahwa sunnah nabi SAW. merupakan substansi perbaikan manusia dan oleh karena itu, menghidupkan al-sunnah merupakan suatu keharusan dalam melakukan pembaruan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sejumlah aturan-aturan hukum di dalam Al-Qur’an dan al Sunnah tidaklah bersifat final melainkan berlaku untuk selamanya, tetapi senantiasa berubah dengan landasan utamanya yaitu kesesuaiaannya dengan alam realitas yang selalu berubah pula, baik waktu atau tempatnya.[11]
Dari latar belakang pemikirannya itu, Fazlur Rahman menggunakan teori gerak ganda atau teori double movement yang ia prakarsai dalam menginterpretasi Al-Qur’an, khususnya terhadap ayat-ayat hukum.[12] Dan double movement (gerak ganda) yang dimaksud oleh Fazlur Rahman adalah sebagai berikut :
1.      Situasi sekarang menuju ke masa turunnya Al-Qur’an (from the present situation to Qur’anic times)
Maksud dari gerak pertama ini adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat Al-Qur’an diturunkan. Dengan pemahaman ini akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat itu.[13] Dan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap gerak pertama ini, maka mufassir harus memahami makna sesungguhnya suatu ayat dengan mengkaji latar sejarah dan persoalan yang menyentuh sebab-sebab mengapa ayat itu diturunkan. Dalam hal ini, mengkaji situasi makro kehidupan sosial Arab menjelang dan sekitar penurunan wahyu harus dilakukan. Di samping itu seorang mufassir harus pula mengerti prinsip-prinsip dasar dari ayat-ayat yang menyentuh persoalan-persoalan khusus tersebut maksudnya adalah mengetahui tujuan sosio-moral dibalik ayat Al-Qur’an.[14]
2.      Situasi dari masa turunnya Al-Qur’an kembali ke masa sekarang (from the Quranic times, then back to the present)
Gerak kedua ini berguna untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nila-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca Al Qur’an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang baik pula tentang sejarah.[15]
Teori double movement Fazlur Rahman ini bisa diterapkan dalam permasalahan poligami dalam perkawinan. Hal ini terkait penafsiran surat An Nisa’ ayat 3. Pada dasarnya Fazlur Rahman mengakui adanya poligami dalam Al Qur’an, tetapi saat ini hukum tersebut tidak berlaku lagi. Ia menjelaskan bagaimana kondisi Arab waktu turunnya Al-Qur’an sebagai gerak pertama dari teorinya. Pada saat itu tidak ada batasan jumlah wanita yang dinikahi. Maka Al-Qur’an meresponnya dengan melakukan pembatasan dengan empat istri. Maka gerak keduanya adalah mengklasifikasi legal formal dan ideal moral. Legal formal dari perkawinan adalah pembatasan empat istri, kemudian ia berspekulasi bahwa ideal moral dari pembatasan tersebut adalah satu istri (monogami) sebagai kelanjutan pembatasan yang pertama. Maka ketika ayat ini diaplikasikan pada saat ini, yang menjadi patokan adalah ideal moralnya.[16] Itu artinya ideal moral atau dalam literatur lain disebut dengan cita-cita moral dari ayat tentang poligami tersebut adalah monogami. Pada dasarnya ayat tersebut menghendaki agar orang Islam itu supaya bermonogami, namun redaksi dalam ayat itu tidak diungkapkan secara langsung melainkan dilakukan secara bertahap. Mulai dari keadaan bangsa Arab yang “suka” kawin dengan banyak wanita dibatasi hanya menjadi empat saja dan terakhir dianjurkan untuk kawin dengan satu saja. Menurut penulis, inilah sebenarnya yang dikehendaki Fazlur Rahman terkait poligami berkenaan dengan teori double movement. Jadi pada intinya, Al Qur’an dalam menyampaikan hukumnya dilakukan secara bertahap tidak spontan supaya tidak mengagetkan pembacanya. Menurut penulis, apa yang disampaikan Fazlur Rahman terkait tahapan pensyariatan poligami ini sama ketika pensyariatan khamr yang tidak secara langsung dilarang melalui ayat yang pertama turun tentang khamr dan benar-benar dilarang ketika turun ayat yang ketiga tentang khamr ini.
Fazlur Rahman mengatakan bahwa poligami merupakan perkawinan yang bersifat kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada pada saat itu, yaitu tindakan para wali yang tidak rela mengembalikan harta kekayaan anak yatim setelah anak itu menginjak usia cukup umur atau baligh. Lantas Al-Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan Al Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat  yang lemah, seperti, orang-orang miskin, anak-anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang-orang yang terjerat hutang, sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter.[17]
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya Fazlur Rahman tidak setuju dengan formulasi para tokoh pembaharu lain yang menggunakan dalil surat An Nisa’ ayat 3 dan 129 sebagai dasar bahwa asas perkawinan Islam adalah monogami, yaitu dengan logika berpikir, Al Qur’an membolehkan poligami dengan syarat berlaku adil, tetapi disebut dalam ayat 129 bahwa manusia tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Mungkin esensinya benar, bahwa Al-Qur’an menghendaki asas monogami, tetapi formulasi yang ditawarkan pembaharu ini kurang meyakinkan. Sebab dengan konsep demikian terkesan ditemukan kontradiksi dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, bolehnya poligami hanya bersifat temporal, dan tujuan akhirnya adalah menghapuskannya sebagaimana yang dikehendaki Al Qur’an melalui ideal moral yang terkandung di dalamnya. Hal ini sejalan dengan tujuan Al-Qur’an untuk menegakkan sosial justice, umumnya kepada masyarakat secara menyeluruh, dan terutama komunitas perempuan. Atas dasar itu, pengakuan dan kebolehan poligami hanya bersifat ad hoc, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi pada saat itu.

Ø  Poligami dalam CLD-KHI
Sebelum membahas pandangan poligami menurut CLD-KHI, sebaiknya kita mengetahui apa itu CLD-KHI? CLD-KHI merupakan singkatan dari Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam adalah naskah yang menjadi tandingan atas Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) yang sejak tahun 2003 diajukan pemerintah sebagai RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama, meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi UU. CLD-KHI diperkenalkan pada tangal 4 Oktober 2004 di Jakarta oleh Pokja Pengarusutamaan Gender Depag RI. Sebagaimana struktur KHI, CLD-KHI juga merupakan hukum materiil Islam dalam bidang perkawinan (116 pasal), bidang kewarisan (42 pasal), dan bidang perwakafan (20 pasal).
Alasan dibuatnya CLD-KHI karena perlunya dilakukan kajian ulang terhadap sejumlah produk hukum, juga didasarkan kepada realitas bahwa alasan-alasan yang mendasari lahirnya sebuah produk hukum akan berbeda-beda, sehingga memungkinkan adanya ketidakmemadaian produk hukum yang ada untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di setiap zaman. KHI yang sesungguhnya juga merupakan hasil kesepakatan para ulama untuk merespon permasalahan hukum pada saat itu, mengindikasikan adanya keniscayaan pembaharuan hukum yang dapat diterima masyarakat muslim Indonesia.[18] Dan juga walaupun KHI telah melakukan terobosan baru dalam pembaharuan hukum Islam seperti, definisi perkawinan, pencatatan perkawinan, persyaratan minimal usia perkawinan, persetujuan kedua pihak (calon suami-isteri) dalam perkawinan, cerai dianggap sah jika dilakukan di depan pengadilan, dan taklik talak dalam perkawinan. Kendati demikian, terobosan KHI dimaksud, secara substantif masih ada yang bias gender dan kurang mengakomodir kepentingan yang setara antara laki-laki dan perempuan, juga kepentingan kelompok minoritas. Karena itulah dperlukan upaya pembaharuan Hukum Islam yang diwujudkan dalam CLD itu.[19]
Meskipun materinya mirip dengan KHI, yakni mencakup masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan, namun alasan yang mendasari rumusan CLD tidak sama dengan alasan yang mendasari lahirnya KHI, yaitu berupa keragaman putusan hukum dalam masalah-masalah yang sama, yang kemudian dibuat penyeragaman, dan dikukuhkan berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991 sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia.[20]
Sedangkan poligami menurut CLD-KHI yang dalam hal ini merupakan hasil pemikiran Ibu Siti Musdah Mulia, penulis buku Islam Menggugat Poligami terdapat dalam pasal 3 RUU Hukum Perkawinan Islam CLD-KHI menyatakan bahwa:
1.      Asas Perkawinan adalah monogami (tawahhud al-Zauj).
2.      Perkawinan yang dilakukan diluar asas sebagaimana ayat (1) dinyatakan batal secara hukum.
Penjelasan pasal 3 tersebut menjelaskan “cukup jelas”.[21]
Dengan kata lain bahwa apabila perkawinan yang dilakukan dil uar asas dalam ayat (1) atau monogami dinyatakan batal secara hukum. Atau bahwa perkawinan poligami dinyatakan tidak sah secara hukum atau dilarang oleh hukum ataupun hukumnya haram.
Siti Musdah Mulia yang merupakan salah satu penggagas adanya CLD-KHI ini menjelaskan bahwa perlu adanya revisi terhadap perundangan perkawinan di Indonesia. Sebagai aktivis gender, ia melihat bahwa pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang serta peraturan pemerintah terkait yang membolehkan suami berpoligami itu, hanya dilihat dari kepentingan suami dan sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan istri. Misalnya, andaikata suami tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami atau suami mendapat cacat atau penyakit atau suami mandul, apakah pengadilan agama juga akan memberikan izin kepada istri untuk menikah lagi? Ketentuan KHI tentang poligami ini jelas menunjukkan bahwa posisi subordinat dan ketidakberdayaan perempuan dihadapan laki-laki. Padahal kalau dihayati dengan hati yang jernih sebagai manusia normal, mau tidak mau harus diakui bahwa istri yang mandul atau berpenyakit bukanlah hal yang disengaja, melainkan karena takdir tuhan.[22]
Siti Musdah Mulia mengusulkan bahwa revisi terkait UU perkawinan hendaknya dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.      Prinsip pluralisme.
2.      Prinsip nasionalitas.
3.      Prinsip demokrasi yang melandaskan diri pada asas kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia.
4.      Prinsip kemaslahatan.
5.      Prinsip kesetaraan gender.[23]
PANDANGAN TERHADAP POLIGAMI DI INDONESIA
Di Indonesia poligami diatur dalam beberapa ketentuan perundangan, berikut pandangan poligami ditinjau dari KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Pengertian perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1, yaitu:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[24]
 Jika dilihat dari pasal tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya perkawinan itu antara seorang pria dan seorang wanita atau lebih dikenal dengan asas monogami. Akan tetapi pada pasal 3 ayat 1 dinyatakan sebagai berikut:
1.        Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
Kata-kata “pada asasnya” menunjukkan bahwa boleh ada penyimpangan. Hal ini terbukti dengan bunyi pasal selanjutnya yaitu pasal 3 ayat 2 yang berbunyi:
2.        Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami. Akan tetapi asas monogami disini sifatnya tidaklah mutlak tetapi juga dapat memperbolehkan seorang laki-laki untuk berpoligami apabila dia dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh UU ini.
Mukti Ali, pada saat itu menjabat sebagai Menteri Agama menyatakan, bahwa poligami itu diibaratkan dengan “pintu darurat” pada pesawat. Apabila kalau pesawat yang hendak terbang harus memiliki atau dilengkapi dengan “pintu darurat”, disamping pintu biasa. Namun, orang tidak dapat keluar masuk melalui “pintu darurat” apabila situasinya tidak dalam keadaan darurat. Begitu juga dengan poligami tidak semua orang dapat berpoligami kecuali pada situasi tertentu.[25]
Kompilasi Hukum Islam juga mengamini UU No. 1 Tahun 1974 bahwa diperbolehkan berpoligami asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pada pasal 4 ayat 1 dan 2, sebagai berikut:
1.        Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2.        Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.       Istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[26]
Syarat di atas termasuk syarat alternatif,. Syarat tersebut kalau ingin berpoligami hanya harus memenuhi salah satu syarat saja. Syarat selanjutnya adalah syarat kumulatif terdapat pada UU No. 1 Tahun 1974 pada pasal 5 ayat 1 dan 2, sebagai berikut:
1.         Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.  adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.  adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.  adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.[27]
Sedangkan untuk KHI selain syarat alternatif dan syarat kumulatif tersebut juga ada syarat lain yang terdapat dalam KHI pasal 55, sebagai berikut:
1.      Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2.     Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
3.   Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.[28]

ANALISIS TERHADAP TEORI DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN DAN CLD KHI
Fazlur Rahman berpandangan bahwa poligami itu terlarang untuk diaplikasikan hari ini, sebagaimana teori double movement-nya yang pada intinya mengatakan bahwa hal terpenting dalam memahami suatu ayat adalah mengetahui legal formal (makna tersurat ayat) dan ideal moral (cita-cita yang diharapkan dalam suatu ayat/maksud sesungguhnya dari suatu ayat). Dan menurut teori ini, ideal moral dari ayat poligami adalah monogami. Dalam menanggapi pendapat Fazlur Rahman yang menekankan pada kontekstualisasi ayat, Daden Robi Rahman dalam bukunya mengomentari bahwa kalau saja Fazlur Rahman menggunakan kontekstualisasi interpretasi seharusnya ia mengatakan bahwa poligami itu malah diperbolehkan, karena konteks hari ini menunjukkan masalah maraknya kasus perselingkuhan dan perzinahan, apalagi sensus laki-laki dan perempuan yang lumayan tinggi perbedaan kuantitas (perempuan lebih banyak dari laki-laki). Tapi Fazlur Rahman malah melarang poligami, hal ini menunjukkan tidak konsistennya Fazlur Rahman dalam mempertahankan teorinya.[29]
Siti Musdah Mulia sebagai penggagas CLD-KHI memiliki pemikiran yang hampir sama dengan Fazlur Rahman terkait dengan kontekstualisasi ayat. Ia menyanggah alasan yang dikemukakan Daden Robi Rahman terkait dengan kondisi saat ini yang menunjukkan bahwasanya jumlah laki-laki itu lebih sedikit dari perempuan. Ia menyatakan bahwa ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan itu tidak sepenuhnya benar. Sebab, jika mengacu kepada data biro pusat statistik yang dimaksudkan dengan kelebihan jumlah perempuan adalah perempuan yang berusia di bawah 12 tahun dan di atas 60 tahun, karena usia perempuan rata-rata lebih panjang daripada usia laki-laki. Secara logika, menurutnya kalau ingin poligami, maka pilihlah perempuan di bawah umur 12 tahun atau di atas umur 60 tahun. Tetapi menikahi perempuan di bawah umur 12 tahun dalam konteks sekarang dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan karena melanggar HAM.[30] Jadi, pada intinya menggunakan alasan tidak seimbangnya jumlah laki-laki dan perempuan itu kurang tepat dalam memaknai kontekstualisasi ayat poligami.
Siti Musdah Mulia juga menambahkan bahwa orang yang membolehkan poligami dengan hanya berdasar pada satu ayat atau bahkan setengah ayat itu sungguh sangatlah naif. Sebab, menurutnya dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari seratus ayat tentang perkawinan, sehingga sangat tidak logis memahami poligami dengan hanya bersandar pada satu ayat saja. Kalaupun dibenarkan berdalil pada satu ayat saja, maka kelompok yang pro poligami tidak memahami teks ayat 3 surat An-Nisaa itu secara utuh. Sebab, dalam ayat tersebut terdapat ayat yang membolehkan perbudakkan, tetapi kenyataannya mereka melarang perbudakkan dan hanya menggunakan yang poligami saja. Seharusnya jika poligami dibolehkan, maka perbudakan juga harus dibolehkan, demikian sebaliknya. [31]
Menanggapi pernyataan Siti Musdah Mulia terkait ayat poligami ini, Neng Djubaidah berpendapat bahwa penghapusan perbudakkan yang dianalogikan terhadap penghapusan poligami adalah tidak tepat. Karena, ayat yang mengatur tentang poligami (maksudnya poligini) hanya terdapat dalam surat An-Nisaa ayat 3. Adapun ayat Al-Qur’an yang menganjurkan memerdekakan budak paling tidak ada 6 ayat dalam beberapa surat, yaitu surat Al-Baqarah ayat 177, An-Nisaa ayat 92, Al-Maidah ayat 89, At-Taubah ayat 60, An-Nur ayat 33, dan surat Al-Balad ayat 13.[32] Meskipun menurut penulis bahwa ayat-ayat tersebut tidak secara langsung melarang perbudakkan melainkan menghapuskannya sedikit demi sedikit baik melalui pemerdekaan budak sebagai pembayaran kafarat dan pemberian zakat kepada hamba sahaya (budak) yang tujuan utamanya adalah memerdekakan budak dan sebagainya. Namun, ayat-ayat ini sudah mewakili upaya penghapusan perbudakan. Jadi dalam pemahaman suatu ayat, haruslah dikaitkan dengan ayat lain, misalnya dalam hal ini adalah masalah perbudakan yang dibarengkan dengan masalah poligami. Karena masalah perbudakan tidak hanya diatur dalam satu ayat itu saja (ayat 3 surat An-nisaa), maka penafsiran masalah tersebut harus dikaitkan dengan ayat lain.

KESIMPULAN
Dari analisis yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan terkait perbedaan yang terjadi dalam masalah kebolehan poligami ini mengerucut pada perbedaan cara penafsiran ayat poligami. Kelompok yang pro poligami, dalam hal ini diwakili ulama mazhab dan pemerintah Indonesia yang dimanifestasikan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, melihat dan memahami ayat poligami secara tekstual. Sedangkan kelompok yang kontra dengan poligami yang diwakili oleh Fazlur Rahman dan   Siti Musdah Mulia melalui CLD-KHI-nya, melihat dan memahami ayat poligami secara kontekstual dengan mempertimbangkan kesesuaian keadaan yang tepat.
Fazlur Rahman melalui teori double movement nya memahami larangan poligami melalui ideal moral yang terdapat dalam ayat poligami. Dan ideal moral yang dimaksud adalah monogami karena ia menilai pada saat ini penerapan monogami sudah seharusnya diterapkan setelah adanya pembatasan empat istri di zaman nabi. Hal yang sama juga dikemukakann Siti Musdah Mulia yang dituangkan dalam CLD-KHI terkait pelarangan poligami dengan berdasar pada kontekstual ayat dan mengedepankan maslahah yang dalam hal ini adalah kesetaraan gender.   


DAFTAR PUSTAKA

A’la, Abd. 2003. Dari Modernisme ke Islam Liberal. Jakarta : Paramadina.

Djubaidah, Neng. 2012. Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat. Jakarta : Sinar Grafika.

Mas’adi, Ghufron A. 1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Mas’ud, Ibnu  dan Zainal Abidin. 2007. Fiqh Madzhab Syafi’i. Bandung : Pustaka Setia. 

Mulia, Siti Musdah. 2007. Islam Menggugat Poligami. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Rahman, Daden Robi. Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Ahkam. Ponorogo : Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS).

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity. London : Chicago Press.

_______. 1994. Metode dan Alternatif  Neomodernisme Islam  terjemahan Taufik Adnan Amal. Bandung: Mizan.

_______. 1996. Tema Pokok al-Qur’an terjemahan  Anas Mahyuddin. Cet. II. Bandung: Pustaka.

_______. 2001. Gelombang Perubahan Dalam Islam terjemahan Aam Fahmia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Taib, Mohamed Imran Mohamed. 2007. “Fazlur Rahman (1919-1998) Perintis Tafsir Kontekstual”. Yayasan Mendaki.

Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2012. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia.

Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. 2007. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta: Prestasi Pustaka

Umi Sumbulah,  “Ketentuan Perkawinan Dalam KHI Dan Implikasinya Bagi Fiqh Mu’asyarah: Sebuah Analisis Gender”






[1] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terjemahan Aam Fahmia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 1.
[2] Ghufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 19.
[3] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terjemahan Aam Fahmia, 2.
[4] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif  Neomodernisme Islam, terjemahan Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1994), 14.
[5] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terjemahan Aam Fahmia, 4
[6] Ghufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, 24.
[7] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), 324.
[8] Ibid., 325.
[9] Abd A’la, Dari Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta, Paramadina, 2003), 82.
[10] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (London : Chicago Press, 1982), 5.
[11] Daden Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Ahkam, (Ponorogo : Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2010), 27.
[12] Ibid.
[13] Ibid., 28
[14] Mohamed Imran Mohamed Taib, “Fazlur Rahman (1919-1998) Perintis Tafsir Kontekstual”, Yayasan Mendaki, 26 Februari 2007.  9
[15] Daden Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Ahkam. 28.
[16] Ibid., 30.
[17] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Terjemahan  Anas Mahyuddin, Cet. II (Bandung: Pustaka, 1996), 68.
[18] Umi Sumbulah,  “Ketentuan Perkawinan Dalam KHI Dan Implikasinya Bagi Fiqh Mu’asyarah: Sebuah Analisis Gender”, 95.
[19] Ibid., 98.
[20] Ibid., 95.
[21] Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 37.
[22] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),  179
[23] Ibid., 190.
[24] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012), 76.
[25] Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 122.
[26] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, 76.
[27] Ibid., 77.
[28] Ibid., 16.
[29] Daden Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam, 30.
[30] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, 53.
[31] Ibid., 51.
[32] Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat, 35.

Komentar